Berawal dari
satu petang, semua ingatan itu kembali tergores kenangan. Saat kita
menghabiskan penghujung hari di sudut kota, ini bukan hanya menyoal senja dan
jingga yang menguning. Melebihi itu, ada garis waktu yang pernah menangkap sungging
senyummu terbias sebuah pengharapan. Tubuh kita merebah lelah di pelataran logika:
Kau dengan asik bercerita tentang kegiatan dan hal yang sudah kau lewatkan di
hari lalu,aku memasang telinga sambil sesekali mereguk kopi. Sebelum senja
hendak buta dan aroma pergantian malam kian dekat, aku perlahan memintamu untuk berdiam sejenak,lalu aku bertanya sampai kemana kau mau bawa hubungan kita
ini? Bagian mana lagi yang terus menerus kau pertanyakan? Bak aksara lupa
suara, kau enggan menjawab dan memilih berganti pembahasan.
Kita saling
sadar untuk terus tidak sadar. Kau yang bosan sendiri dan aku yang terlalu
bermimpi. Berpadu padan menjadi sepasang anak manusia yang terjerat kisahnya,
tidak ingin pergi tapi ada sesuatu yang menyeret paksa untuk tidak lagi berdiam
diri.
Selang satu
minngu, kudapati di-Instastorymu ada wajah yang kau halangi tanda love dan
kalimat romantis penlengkapnya. Sontak aku merasa pelik, kecewa melipur lara,
tentangmu semua sudah tiada.
Hingga Direct
Messege darimu muncul sebagai dambaan, kau mengirim ucapan perihal maaf dan
permohonan agar kita tetap jadi kawan baik. Aku hanya mengiyakan saja. Semenjak
itu, tak ada lagi pesan ajakan ketemuan walau sekdar berbagi cerita. Kini kau
sudah dengan keangkuhanmu, bahagia yang tengah kau jaga sulit untuk dicari
celah kosongnya. Aku tak berniat sedikitpun merusaknya, aku harap kau tahu
bahwa saat kau bersanding memapah jalanan kota di penghujung minggu, ada raga
yang lumpuh termakan kenyataan. Saat kau bertukar pesan hingga larut malam, ada
batin yang menghayal tentang keindahan sebatas pernah pada akhirnya tetap
punah.
Satu bulan
berlalu,
Juga kau yang
semakin mengutuk waktu.
Aku paham, kisah
kita sudah tidak ada bedanya lagi dengan dongeng-dongeng menjelang tidur, dan
kaupun juga pasti lebih paham bagaimana harapan ini kian terbentur.
Jadi baiknya,
aku hunuskan belati ini tepat pada jantung puisi. Sebab semua tentangmu
hanyalah kata-kata yang berbaris rapi dipenuhi kepura-puraan.
Tapi, bukan
berarti semua ini harus berakhir dengan kebencian. Kita pernah indah pada
waktunya, dan mungkin kita juga harus terluka pada saatnya. Aku tak akan lupa
kau yang sangat menyukai senja, aroma jingga, dan regukan kopi penghiasnya.
Maka kisah kita ini persis aku analogikan bak sepasang kekasih yang sedang
menikmati pamitnya senja dengan keistemewaan yang mereka rasakan. Keduanya
terikat emosi hangat, penuh romantis, tanpa menyadari betapa berharganya peran
sang senja dalam menciptakan moment indah itu.
Aku kini tengah
merupa senja,
Terlintas di
matamu sudah cukup,
Usah kau
abadikan,
Aku titipkan
cerita kita di ufuk timur sana,
Silahkan kau
pungut kembali,
Begitu hatimu
terbawa tenggelam,
Aku tak sudi
lagi peduli
Komentar
Posting Komentar